Feeds:
Pos
Komentar

Regenerasi GAMAIS ITB 2010

:: Mekanisme Regenerasi GAMAIS ITB 2010 ::

Secara umum, mekanisme yang digunakan  terbagi ke dalam dua tahapan:

1. Jajak pendapat

2. Musyawarah

di mana yang paling menentukan adalah tahapan musyawarah. hal ini sesuai dengan apa yang dicontohkan oleh para sahabat, generasi terbaik ummat ini, ketika pengangkatan khulafaur rasyidin. wallahu a’lam.

:: Jajak Pendapat ::

Jajak pendapat di sini mirip seperti pemilu, di mana seluruh muslim ITB dapat menyalurkan aspirasinya. hasil dari jajak pendapat akan menjadi salah satu bahan pertimbangan ketika musyawarah oleh majelis syura GAMAIS ITB.

Seperti pada jajak pendapat umumnya, insya Allah akan di adakan hearing yang bertujuan untuk mengenalkan calon kepala GAMAIS kepada seluruh muslim ITB. hearing akan diadakan tiga kali, yaitu

1. Senin, 7 desember 2009

tempat : selasar GKU Barat

waktu   :16.15-maghrib

tema     : visi dan misi

2. Rabu, 9 desember 2009

tempat : selasar FTI

waktu   : 16.45-maghrib

tema     : langkah strategis dan program kerja

3. Kamis, 10 desember 2009

tempat : selasar GKU Timur

waktu   : 16.45-maghrib

tema     : tarik ulur pusat dan wilayah

Kemudian jajak pendapat akan diadakan pada Senin, 14 desember 2009 pukul 7 pagi sampai Selasa, 15 desember 2009 pukul 5 sore. Jajak pendapat akan dilakukan di spot-spot yang akan diumumkan kemudian.

:: Calon Kepala GAMAIS ITB 2010 ::

1. Taufiq Suryo SI07

2. Muhammad Yusuf MS07

3. Agung Wijaya Mitra Alam EL07

4. Adjie Wicaksana TI07

Iklan

Bismillahirrohmanirrohim,

Sesungguhnya medan bicara itu tak semudah medan berkhayal, Medan berbuat itu tidak semudah medan berbicara, medan berjihad itu tidak semudah medan jihad yang keliru (Hasan Al Banna)

***

Aku memimpikan suatu kondisi dimana ketika setiap orang yang mendengar kata GAMAIS maka minimal ada tiga kata yang terlintas dalam benak mereka. Tiga kata tersebut adalah produktif, kontributif, dan inspiratif. Tiga kata yang kemudian menggambarkan ribuan kata penyusun bangunan unit ini secara utuh. Utuh dalam satu koridor kebenaran yang bersumber hanya dari Allah swt.

Aku memimpikan Gamais yang produktif. Yang aku maksud dengan produktif adalah kondisi dimana berkarya dan berprestasi selalu mengisi kehidupannya. Kedekatan kepada Allah menjadi kebutuhan utamanya. Al Quran senantiasa cukup menjadi pengisi hatinya. Cerdas menjadi karakter di lingkungannya. Amal menjadi penghias kehidupannya. Aku memimpikan kader Gamais yang kreatif dalam pemikirannya, komunikatif dalam setiap pembicaraannya, dan inovatif dalam aktivitas yang dilakukannya. Adaptif menjadi ciri Semuanya terangkum dalam profil Gamais yang kita kenal dengan IQPIDS.

Aku memimpikan Gamais yang produktif. Sebuah organisasi satu yang utuh dan nampak keutuhannya. Satu komunitas yang bergerak sinergis dan harmonis antara semua elemen yang dimilikinya. Semua elemen yang terdiri dari LDP, LDF, dan LDPS yang menghiasi dan memberikan warna di kampus ITB tercinta ini. Satu komunitas yang karya menjadi salah satu identitasnya. Saling sambut menyambut syi’ar islam yang mengakar yang disebarkannya. Saling mengokohkan pembinaan yang dibangunnya. Saling menginspirasi dalam seruannya kepada Allah SWT. Saling memberikan manfaat dalam sarana pendukung yang dimilikinnya.

Aku memimpikan Gamais yang kontributif. Kontributif yang aku maksud adalah produktif yang berdaya guna bagi lingkungan sekitarnya. Transformasi kampus, bangsa, dan islam ke arah yang lebih baik menjadi salah satu orientasinya. Melahirkan calon-calon pelaku kemajuan bangsa pada masa yang akan datang menjadi fokus pembinaannya. Kuat dan syumul pemahamannya tentang kondisi umat saat ini. Diawali kontribusinya dengan wacana dan kontemplasi. Diakhiri kontribusinya dengan aksi nyata yang menginspirasi.

Aku memimpikan Gamais yang inspiratif. Yang aku maksud dengan inspiratif adalah kondisi dimana secara personal kader-kadernya menjadi teladan. Semangatnya melahirkan semangat setiap manusia yang merasakannya. Tindakannya menjadi pemicu setiap insan yang menyaksikannya. Kata-katanya identik membawa kabar gembira akan harapan yang menginspirasi setiap jiwa yang mendengarkannya. Aksinya menjadi pionir yang diakui semua lini kehidupan kampus ini. Sungguh indah inspirasi itu diciptakannya. Lahir dari setiap sisi yang tak pernah terbayangkan inspirasi muncul darinya. Lahir dari setiap sisi karena Allah sebagai orientasinya, lahir dari semua kader Gamais yang ada sepanjang waktu, lahir Aku, Kamu, dan kita semua.

***

:: Visi ::

Gamais : Produktif, Kontributif, Inspiratif

:: Misi ::

:: Membangun pembinaan yang lebih terpercaya dan berkesinambungan ::

:: Sinergisasi antara seluruh elemen Gamais yang meliputi Lembaga Dakwah Pusat dan Wilayah ::

:: Syi’ar yang lebih mengakar dan pelayanan yang lebih nyata dan inspiratif ::

:: Membentuk mahasiswa ITB yang berprestasi dan berkarya nyata ::

:: Menjadikan Gamais yang mandiri finansial ::

:: Membangun jaringan yang lebih luas, kuat, dan terpercaya ::

Muhasabah merupakan senjata yang cukup ampuh untuk menjaga konsistensi dan meningkatkan ketakwaan kita kepada Allah swt. Al-Hasan Al Basri rahimahullah berkata, “Seseorang senantiasa baik apabila muhasabah menjadi keinginannya”. Rasanya kita pun menyadari, satu bulan pasca bulan ramadhan adalah waktu yang cukup bagi kita untuk mengevaluasi diri dalam bentuk refleksi ketakwaan kita terhadap pribadi takwa yang sebenarnya. Refleksi ketakwaan ini dirasakan cukup efektif, agar kedepannya kita lebih punya jalan dan koridor yang jelas sehingga derajat ketakwaan tertinggi dapat diraih oleh masing-masing diri kita. Dalam hal ini, Allah ta’ala berfirman,

“Sesungguhnya orang-orang yang bertakwa berada di dalam taman-taman (surga) dan di mata air-mata air, sambil mengambil apa yang diberikan kepada mereka oleh Tuhan mereka. Sesungguhnya mereka sebelum itu di dunia adalah orang-orang yang berbuat baik. Mereka sedikit sekali tidur di waktu malam. Dan di akhir-akhir malam mereka memohon ampun (kepada Allah). Dan pada harta mereka ada hak untuk orang miskin yang meminta dan orang miskin yang tidak mendapat bagian.” (Q.S. Az-Zariyat : 15-19)

Nampaknya, tidak cukup sulit bagi kita untuk memahami sifat orang-orang yang bertakwa di dunia dari ayat tersebut. Tidak sulit bagi kita untuk memahami bahwa orang yang bertakwa adalah orang yang senantiasa berbuat baik. Yakni orang yang senantiasa berusaha untuk menggapai dan menyadang sifat ihsan, yang merupakan puncak tertinggi dalam amal perbuatan. Sifat yang membuat  para muhsin (orang yang memiliki sifat ihsan) lebih mengutamakan kebutuhan orang lain dibandingkan kebutuhan dirinya sendiri. Sifat yang menjadikan orang yang memiliknya memperlakukan orang lain lebih baik dari perlakuannya terhadap dirinya sendiri.

Ayat di atas juga tidak begitu menyulitkan kita untuk memahami bahwa orang bertakwa adalah orang yang sedikit tidur di waktu malam tentunya hanya untuk beribadah kepada Allah ta’ala. Mereka senantiasa memohon ampunan pada waktu al-ashar, yakni seperenam malam terakhir. Dan mereka juga senantiasa menginfakkan harta mereka atas konsekuensi keyakinan adanya hak orang miskin dalam harta yang mereka miliki.

Tentunya kita semua menyadari bahwa ciri-ciri orang bertakwa yang disampaikan Allah SWT. dalam ayat tersebut bukan hanya untuk memberikan informasi biasa kepada kita. Ciri-ciri tersebut tentunya untuk kita jadikan refleksi diri kita akan sejauh mana pribadi kita, yang tentunya mengharapkan surga-Nya, mendekati pribadi orang-orang bertakwa yang disampaikan Allah. Refleksi inilah yang kemudian kita harapkan dapat menjaga dan meningkatkan derajat ketakwaan yang kita miliki saat ini. Ketakwaan yang tentunya kita harapkan mampu menjadikan kita tergolong orang-orang yang mendapatkan surga Allah SWT kelak. Ketakwaan yang tentunya pula kita harapkan menjadikan kita tergolong orang-orang yang selalu medapat ridho Allah dan sekalipun tak akan mendapatkan murka-Nya di surga yang dijanjikan-Nya. Wallahu’alam.

O, Pahlawan Negeriku

Di masa pembangunan ini”, kata Chairil Anwar mengenang Diponegoro, “Tuan hidup kembali. Dan bara kagum menjadi api“.

Kita selalu berkata jujur kepada nurani kita ketika kita melewati persimpangan jalan sejarah yang curam. Saat itu kita melewati persimpangan jalan sejarah yang curam. Saat itu kita merindukan pahlawan. Seperti Chairil Anwar tahun itu, 1943, yang merindukan Diponegoro. Seperti juga kita saat ini. Saat ini benar kita merindukan pahlawan itu. Karena krisis demi krisis telah merobohkan satu per satu sendi bangunan negeri kita. Negeri ini hampir seperti kapal pecah yang tak jemu-jemu dihantam gunungan ombak.

Di tengah badai ini kita merindukan pahlawan itu. Pahlawan yang, kata Sapardi, “telah berjanji kepada sejarah untuk pantang menyerah”. Pahlawan yang, kata Chairil Anwar, “berselempang semangat yang tak bisa mati.” Pahlawan yang akan membacakan “Pernyataan” Mansur Samin:

Demi amanat dan beban rakyat
Kami nyatakan ke seluruh dunia
Telah bangkit di tanah air
Sebuah aksi perlawanan
Terhadap kepalsuan dan kebohongan
Yang bersarang dalam kekuasaan
Orang-orang pemimpin gadungan


Maka datang jugalah aku ke sana, akhirnya. Untuk kali pertama. Ke Taman Makam Pahlawan di Kalibata. Seperti dulu aku pernah datang ke makam para sahabat Rasulullah saw di Baqi’ dan Uhud di Madinah. Karena kerinduan itu. Dan kudengar Chairil Anwar seperti mewakili mereka:

Kami sudah coba apa yang kami bisa
Tapi kerja belum selesai, belum apa-apa
Kami sudah beri kami punya jiwa
Kerja belum selesai, belum bisa memperhitungkan arti 4-5 ribu nyawa
Kami cuma tulang-tulang berserakan
Tapi adalah kepunyaanmu
Kaulah lagi yang tentukan nilai tulang-tulang berserakan

Tulang-tulang berserakan itu. Apakah makna yang kita berikan kepada mereka? Ataukan tak lagi ada wanita di negeri ini yang mampu melahirkan pahlawan? Seperti wanita-wanita Arab yang tak lagi mampu melahirkan lelaki seperti Khalid bin Walid? Ataukah tak lagi ada ibu yang mau, seperti kata Taufiq Ismail di tahun 1966, “Merelakan kalian pergi berdemonstrasi..Karena kalian pergi menyempurnakan..Kemerdekaan negeri ini.”

Tulang belulang berserakan itu. Apakah makna yang kita berikan kepada mereka? Ataukah, seperti kata Sayyid Quthub, “Kau mulai jemu berjuang, lalu kau tanggalkan senjata dari bahumu?”

Tidak! Kaulah pahlawan yang kurindu itu. Dan beratus jiwa di negeri sarat nestapa ini. Atau jika tidak, biarlah kepada diriku saja aku berkata: jadilah pahlawan itu.

~Anis Matta~

Mereka Umat Terbaik

“Kamu adalah umat yang terbaik yang dilahirkan untuk manusia, menyuruh kepada yang ma’ruf dan mencegah dari yang munkar, dan beriman kepada Allah….” (Q.S. Ali-‘Imran : 110)

Saudaraku, mari sejenak kita perhatikan mereka, tentang sekumpulan orang yang kemudian disebut umat terbaik oleh Allah. Mereka sangat mencintai Allah dan Allahpun mencintai mereka. Mereka menyeru kepada Allah, menyeru kepada yang ma’ruf dan mencegah kepada yang mungkar kapanpun dan dimanapun mereka berada. Mereka sangat khawatir atas laknat Allah atas mereka. Kekhawatiran atas konsekuensi keyakinan mereka terhadap firman Allah SWT.

Sesungguhnya orang-orang yang menyembunyikan apa yang telah kami turunkan berupa keterangan-keterangan (yang jelas) dan petunjuk, setelah Kami menerangkannya kepada manusia dalam Al-kitab, mereka itu dilaknat oleh Allah dan dilaknat (pula) oleh semua (makhluk) yang dapat melaknat.” (Q.S. Al-Baqoroh : 159)

Saudaraku, mereka mengamalkan ilmu atas diri mereka. Khawatir pula mereka dibenci oleh Allah atas seruan yang mereka lakukan. Sekali lagi, Kekhawatiran atas konsekuensi keyakinan mereka pula terhadap firman Allah SWT.

“Hai, orang-orang yang beriman, mengapa kamu mengatakan apa yang tidak kamu perbuat? Amat besar kebencian di sisi Allah bahwa kamu mengatakan apa-apa yang tiada kamu kerjakan.” (Q.S. Ash-Shaaff : 2-3)

Saudaraku mereka beriman kepada Allah dan merasakan kelezatannya. Gemetar hatinya ketika disebut nama Allah. Bertambah imannya ketika dibacakan ayat-ayat-Nya kepada mereka. Mereka senantiasa bertawakal hanya kepada Allah. Mereka dirikan shalat dan berada dalam naungannya dimanapun dan dalam kondisi apapun. Mereka rihdo menafkahkan sebagian rizki yang mereka dapatkan dari Allah. Di sisi Allah, mereka mendapatkan beberapa derajat yang tinggi. Mereka memperoleh ampunan lagi tambahan nikmat yang mulia dari Rabbnya. Mereka ridho Allah menjadi tuhan mereka atas konsekuensi keimanannya. Mereka ridho atas perintah dan larangan apapun dari Rabbnya. Atas konsekuensi keimanan itu pula, masing-masing dari mereka mencintai sesamanya karena Allah, ikhlas karena-Nya. Sehingga tak ada kekurangan di antara mereka dalam kehidupannya. Sehingga senang hati setiap orang ketika dekat dengan mereka. Atas konsukuensi keimanan itu pula, mereka benci ketika mereka masuk dalam kekafiran sebagaimana mereka benci ketika diri mereka masuk ke dalam api neraka.

“Sesungguhnya orang-orang yang beriman itu adalah mereka yang disebut nama Allah gemetarlah hati mereka, dan apabila dibacakan kepada mereka ayat-ayat-Nya, bertambahlah iman mereka (karenanya) dan kepada Rabblah mereka bertawakal, (yaitu) orang-orang yang mendirikan shalat dan yang menafkahkan sebagian dari rezki yang Kami berikan kepada mereka. Itulah orang-orang yang beriman dengan sebenar-benarnya. Mereka akan memperoleh beberapa derajat ketinggian di sisi Rabbnya dan ampunan serta rezki (nikmat) yang mulia.” (Q.S. Al-Anfal : 2-4)

Tiga hal yang apabila seseorang dapat merealisasikannya, maka ia akan merasakan lezatnya keimanan, yaitu; 1. Menjadikan Allah dan Rasul-Nya sebagai sesuatu yang paling dicintainya dari selainnya, 2. Mencintai seseorang, tiada lain mencintainya kecuali hanya karena Allah, 3. Benci apabila dirinya terjerumus kembali kepada kekafiran seperti kebenciannya apabila dijerumuskan ke dalam api.”(H.R Bukhari dan Muslim).

Saudaraku, Semoga kita didekatkan dengan sifat-sifat mereka dan bisa menjadi bagian dari mereka. Amiin. Wallahu’alam

Mari kita berhenti sejenak untuk mensyukuri keimanan kita. Keimanan yang seharusnya menyebabkan kita melakukan amal saleh yang diperintahkan. Keimanan yang seharusnya membuat kita senang karena melakukan amal yang baik dan susah karena melakukan amal yang buruk. Sebagaimana yang pernah rasulullah katakan ketika beliau ditanya tentang apa itu iman, beliau berkata Apabila amal baikmu membuatmu gembira, dan amal burukmu membuatmu susah (sedih), berarti engkau adalah seorang mukmin (orang beriman).”(H. R. Hakim)

Saudaraku, sekarang mari kita melihat keimanan salah seorang saudara kita, Bilal Bin Rabbah namanya. Nampaknya tubuhnya yang gelap belum lepas dari benak kita dalam mengingatnya. Ia disiksa keras oleh Umayyah bin Khalaf al-Jamhi sebelum dimerdekakan oleh Abu Bakar. Lehernya diikatkan dengan tali, sesekali dikencangkan, kemudian diseret tubuhnya oleh anak-anak kecil mengelilingi lereng-lereng mekkah. Tubuhnya kerapkali dijemur di bawah terik matahari dan ditindihkan batu yang besar di dadanya. Akan tetapi saudaraku, sekalipun demikian ia tetap berkata ‘Ahad, ahad’.

Selanjutnya kita ingat pula sejenak kisah saudara kita Sayyid Quthb. Mungkin wajahnya senantiasa masih terbayang di kepala kita. Ia pernah dimasukkan ke dalam penjara. Ia dipukul, dicambuk, dan disiksa sampai ia tak mampu lagi untuk berdiri, seketika didatangkan di dalam penjaranya sekawanan anjing lapar yang merobek-robek punggungnya. Tetapi dalam kondisi yang mencekam itu, Ia menghadapi maut dengan senyum di bibir dan lisan yang selalu basah mengingat Allah SWT.  Sampai pada suatu ketika saudarinya Aminah Quthb datang mengunjunginya, menyampaikan pesan, menyodorkan notes kecil dan sebuah pulpen dari sakunya, hanya untuk sekadar mengajukan permohonan maaf, akan tetapi yang keluar dari Sayyid Quthb adalah kalimat yang menggetarkan setiap jiwa yang mendengarnya saat itu, Ia berkata, “Telunjuk yang senantiasa menyaksikan keesaan Allah dalam setiap sholat, menolak untuk menuliskan barang satu huruf penundukkan atau menyerah kepada rezim thawaghit.”

Atau mungkin sejenak pula kita perhatikan keimanan seorang wanita sholihah lagi mu’minah.  Siti Hajar namanya. Di hamparan padang pasir yang tandus, ia dihadapkan dengan kondisi yang tak terbayangkan bijaknya keputusannya. Mantap punggung suaminya, ibrahim, meninggalkannya. Seketika muncul pertanyaan darinya kepada suaminya “Yaa Ibrahim, apa yang kau lakukan dengan meninggalkan kami disini?”. Dua kali ia sampaikan, tapi langkah suaminya tetap mantap meninggalkannya. Ketiga kalinya ia sampaikan kepada suaminya “Tunggu! Ibrahim, adakah ini perintah Allah?”. Pertanyaan ini menghentikan langkah, memutarkan tubuh, dan menggerakkan lidahnya kemudian berkata “Ya, ini adalah perintah Allah”. Ini sungguh luar biasa saudaraku, dalam kebingungan, dalam kepanikan, dalam kesusahan, mulutnya, Siti Hajar, bergerak mengatakan “Jika ini adalah perintah Allah, maka sungguh Ia tidak akan menyia-nyiakan kami. Subhanallah saudaraku. Keimanan seperti yang mereka miliki itulah yang kita impikan kehadirannya dalam diri kita. Keimanan yang kita merasa bahagia karena memilikinya, keimanan yang kita merasa kuat karena memilikinya, keimanan yang kita merasa tenang karena memilikinya, dan keimanan yang menyebabkan kita senantiasa beramal soleh karena memilikinya.

Saudaraku, mari kita berhenti sejenak kembali untuk merasakan keimanan kita, untuk merasakan sejauh mana kita merasakan lezatnya keimanan yang mungkin telah cukup lama hadir dalam diri kita. Mari kita memikirkan sejauhmana upaya kita untuk membuat diri kita merasakan kelezatan iman, sejauhmana kita telah berusaha melakukan hal-hal yang disarankan oleh Rasulullah saw. setelah beliau pernah bersabda “Tiga hal yang apabila seseorang dapat merealisasikannya, maka ia akan merasakan lezatnya keimanan, yaitu; 1. Menjadikan Allah dan Rasul-Nya sebagai sesuatu yang paling dicintainya dari selainnya, 2. Mencintai seseorang, tiada lain mencintainya kecuali hanya karena Allah, 3. Benci apabila dirinya terjerumus kembali kepada kekafiran seperti kebenciannya apabila dijerumuskan ke dalam api.”(H.R Bukhari dan Muslim). Dan begitu pula dengan sejauhmana upaya kita memperbaharuinya setelah Rasulullah juga pernah menganjurkan dalam sebuah hadits dari Abu Hurairah ra. Ia berkata, bahwa beliau bersabda, “Perbaharuilah iman kalian.” Para sahabat bertanya, “Bagaimana cara memperbaharui iman kami, ya Rasulullah?” Rasulullah Saw. bersabda, “Perbanyaklah ucapan La ilahaillallah.” (HR. Bukhari).

Wallahu’alam